Kamis, 02 Mei 2013

Resensi Novel - Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah



Judul Buku : Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Umum

Cetakan : Tahun 2012
Halaman : 512 hal


           


Buku berlatar belakang Kalimantan ini mengisahkan tentang kisah cinta Borno dan Mei di Pontianak Kalimantan. Romantisme cinta yang sederana, tidak norak, tidak bertele-tele dan masih diambang wajar. Di buku ini, Tere Liye mengajak kita menyelami kehidupan di sekitar sungai Kapuas, bagaimana kekeluargaan, persahabatan, dan kehidupan masyarakat yang sederhana. Di buku ini juga megajarkan bagaimana kita tidak berputus asa saat kita terpuruk dan gagal, ditambah petua-petuah Pak Tua yang bijak dalam percintaan, tidak terkesan menggurui bagi para pembaca.
            Borno, seorang anak yatim yang telah ditinggal oleh ayahnya sejak berusia 12 tahun karena tersengat ubur-ubur saat melaut, berusaha mencari pekerjaan di sekitar kotanya. Segala pekerjaan telah ia coba tetapi selalu gonta-ganti karena tidak cocok. Pada akhirnya, Pak Tua menawarkan menjadi penarik sepit menggantikan dirinya karena dia sudah tua. Sepit adalah semacam perahu yang digunakan untuk menyebrang sungai Kapuas. Awalnya Borno menggunakan sepit Pak Tua, sedangkan Pak Tua istirahat di rumahnya. Tetapi, akhirnya Borno memiliki sepit sendiri, hadiah dari teman-temannya. Sepit itu pun di beri nama ‘Bornoe’. Lelaki dengan sebutan ‘bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian kapuas’ ini melalui hari-harinya dengan mengemudi sepit sampai akhirnya dia menemukan sebuah angpau merah yang dijatuhkan oleh wanita keturunan Cina yang menumpang sepitnya itu. Ketika ia akan mengembalikannya kepada wanita itu, ternyata wanita itu sedang membagi-bagikan angpau merah kepada anak-anak sebuah yayasan. Angpau yang sama, angpau merah. Borno pun hanya menganggap itu angpau biasa dan tidak jadi mengembalikannya ke wanita itu. Ia pun menyimpannya. Lambat laun, wanita itu menarik perhatiannya dan Borno pun jatuh cinta kepada wanita yang bernama Mei itu, dan ini pertama kali si Bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian kapua jatuh cinta pada seorang wanita.
Mei, gadis sendu menawan keturunan Cina, adalah seorang guru yang ditugaskan mengajar di sebuah yayasan di Pontianak. Ia cantik, kaya, pintar, ramah. Ia pandai bergaul dengan siapa saja dan ia gadis yang lugu. Borno pun selalu datang pagi untuk mngengantre di antrean ke 13. Hanya 15 menit pertemuan mereka tetapi memberikan kesan yang mendalam untuk Borno. 23.45 waktu yang diperlukan Borno menunggu datangnya hari esok dengan perasaan rindu yang tertahankan. Semakin hari, mereka semakin dekat dan pak tua pun semakin sakit-sakitan. Ternyata Mei tidak lama di Pontianak, ia hanya mengajar di  yayasan itu sementara dan ia harus pulang ke Surabaya. Dihari kepulangannya, mereka berjanji untuk bertemu, tetapi diwaktu yang sama, Pak Tua sakit dan dibawa ke rumah sakit sehingga Borno lupa akan janjinya. Ia pun mencoba mencari alamat rumah Mei yang di Pontianak. Ia mengunjungi yayasan tempat Mei mengajar dan akhirnya mendapat alamat rumah Mei. Dengan segera, Borno mengunjungi rumah Mei dan mendapati Mei sedang bersiap-siap pulang. Akhirnya Mei pun pulang dan Borno pun sedih.
            Hari-hari dilalui Borno tanpa Mei. Ia sering bercerita kepada Andi, sahabatnya, di bengkel milik ayahnya Andi. Ia juga sering ke rumah Pak Tua untuk mengantarkan makanan sehat dari ibunya untuk Pak Tua. Memang, semenjak Pak Tua masuk rumah sakit, ibunya Borno sering menyuruh Borno mengantarkan makanan ke rumahnya. Itu juga menjadi kesempatan bercerita kepada pak Tua dan pak Tua pun memberi nasehat yang bijak tentang cinta. Sampai pada suatu hari, Pak Tua harus menjalani pengobatan di Surabaya dan ia mengajak Borno untuk menemaninya ke Surabaya. Tidak disangka, di Surabaya tepatnya di rumah sakit tempat Pak Tua menjalani pengobatan, ketika sedang menunggu Pak Tua, ia bertemu dengan Mei. Mei pun mengajak Bono jalan-jalan mengelilingi kota Surabaya dan mengunjungi kerabat Pak Tua yang memiliki kisah cinta yang sangat romantis, si Fulan dan Fulani. Borno juga sempat mengunjungi rumah Mei, tetapi di rumah Mei, Borno mendapat sambutan yang tidak ramah dari ayahnya Mei. Ayahnya Mei tidak setuju dengan hubungan mereka. Borno pun pulang ke Pontianak dengan hati gelisah. Dalam kegelisahannya itu, Borno bertemu dengan bu Dokter yang sangat cantik dan baik hati. Tak disangka, mereka dulu pernah bertemu saat kecil ketika ayahnya Borno meninggal. Bu dokter yang bernama Sarah itu ingin membalas budi karena ayahnya Borno telah mendonorkan jantungnya untuk keluarga mereka. Keluarga Sarah pun membuat syukuran dan memberikan hadiah kepada keluarga Borno.
Sarah gadis cantik dan baik hati, mengingatkan Bornoe pada Mei  yang sama cantiknya dengan Sarah. Timbul rasa ketertarikan pada Sarah karena Sarah begitu perhatian kepada Borno. Hatinya pun sekarang sedang gelisah karena Mei, sehingga rasa ketertarikan itu semakin mendalam. Namun Borno tidak ingin mengubris perasaan itu. Ia tetap pada Mei seorang, cinta sejati hingga akhir hayat.
            Saat Borno ke rumah Andi, ayahnya Andi melihat potensi Borno dalam mesin, ayahnya Andi pun mengajak Borno menjadi montir di bengkelnya. Borno pun setuju, pagi menarik sepit, sore ke bengkel ayahnya Andi. Ayahnya Andi juga sedang berbisnis untuk mencari tempat bengkel yang baru dan stategis. Suatu hari, ada yang ingin menjual bengkel kepada ayahnya Andi dengan harga murah. Setelah dipikir-pikir, ayahnya Andi pun setuju walau harus menjual rumah dan menjual sepit Bornoe. Tapi ternyata, penipuan terjadi, dan selama beberapa minggu, ayahnya Andi terpuruk. Kesehariannya hanya duduk diam di bengkel baru itu, tetapi Andi dan Borno tidak. Disaat ayahnya Andi seperti itu, justru mereka tetap berusaha membangkitkan kembali bengkel ini agar menjadi bengkel yang besar. Dengan haru tawa canda dengan slogan yang dibuat Andi akhirnya bengkel ini sukses dan ayahnya Andi lambat laun mulai sembuh.
            Ternyata, Mei kembali ke Pontianak. Borno yang tahu kepulangan Mei ingin mengajaknya jalan-jalan mengelilingi kota Pontianak. Mereka naik kapal dan sorak-sorak dari para kawan penarik sepit membahana. Tetapi, tiba-tiba Mei tidak datang pada sepit urutan ke 13 itu tanpa alasan yang jelas, keesokan harinya pun sama. Borno pun merasa Mei menjauhinya, entah karena apa. Borno berusaha menemuinya tetapi yang terjadi malah tambah menjauh. Borno tidak mengerti mengapa Mei menjauhinya, ia cerita ke Pak Tua yang selalu memberi petuah petuah bijak. Kisah cinta mereka mngalir begitu saja seperti aliran sungai Kapuas itu. Sederhana sekali tetapi sangat menyentuh. Tidak norak dengan bahasa yang lebay. Dua sejoli yang sama sama mencintai tetapi dipisahkan oleh masa lalu. Borno tidak menyerah dan terus berusaha untuk dapat bertemu Mei. Pernah suatu hari, saat itu, borno baru pulang dan mendapati rumahnya ramai. Ternyata keluarganya Sarah datang, memberikan baju-baju yang bagus untuk keluarganya Borno untuk digunakan pada perkawinan adiknya Sarah. Pada saat perkawinan itu, ternyata Mei dan Sarah telah berteman lama. Borno meminta bantuan Pak Tua untuk mengalihkan perhatian ayahnya Mei agar ia dapat berbicara dengan Mei. Tapi sia-sia saja, Mei malah menyuruh Borno bersama Sarah saja dan melupakan dia.
            Borno terus mengejar cinta sejatinya, ketika ia ingin ke rumah Pak Tua, tiba-tiba ia bertemu Mei baru keluar dari rumah Pak Tua. Lantas Borno menemui Pak Tua untuk bertanya ada apa Mei ke rumah Pak Tua. Pak Tua pun memberi saran untuk mengejar cinta sejatinya itu. Sampai dapat, sampai menemukan jalan keluar dalam permasalahan ini.
            Tanpa disadari, ternyata yang membuat Mei jadi menjauh karena masa lalu itu. Ia terjebak dalam masa lalu yang kelam, dan itu menimbulkan dampak negative bagi kisah cinta mereka. Ternyata angpau merah yang dijatuhkan Mei, bukan sekedar angpau biasa yang Mei bagikan pada anak-anak di yayasan. Isinya mengungkapkan rahasia kenapa Mei menjauh darinya. Sayangnya angpau itu baru dibuka di akhir cerita ini. Tapi borno tidak peduli dengan masa lalu yang ternyata ada sangkut paunya dengan dirinya, ia tetap akan mencintai Mei.
Buku ini sangat bagus untuk remaja sekarang yang sedang dilanda kisah romantisme. Tidak hanya cinta dan gombal-gombal, tetapi ada pepatah pepatah yang bagus dan sangat memutar otak kita  untuk lebih baik lagi. Kelebihan buku ini, tidak hanya kisah cintanya yang menyentuh, tetapi kekeluargaannya, kebersamaannya, kerja keras dan perjuangan Borno. Kehidupan sederhana, tenang, damai. Membacanya membuat kita berimajinasi dengan bebas. Kekurangannya mungkin kurang tebal.
            Buku ini layak sekali dibaca oleh semua orang. Bahasanya tidak terlalu dewasa, tidak baku, tidak rumit, sederhana. Inilah yang saya suka dari Tere Liye. Bahasanya itu beda dari yang lain sehingga ketika kita membacanya tanpa tahu pengarangnya, pasti kita dapat menyimpulkan kalau ini yang menulis pasti Tere Liye. Di buku ini kita juga bisa belajar sejarah Kalimantan, tentang tempat-tempat yang unik, tentang bagaimana Pontianak dibentuk.
            Pesan moral yang dapat saya ambil dari buku ini adalah bagaimana kita harus terus berusaha dan bersungguh-sungguh dalam meraih cinta sejati kita, bagaimana kita dalam berusaha dan bekerja keras dalam mencapai kesuksesan di bidang pekerjaan. Saling membantu dan menolong dalam kesulitan, bagaimana kita bersama-sama membangun kota yang kecil menjadi kota yang besar dan maju. Bagaimana mengikhlaskan apa yang telah terjadi, memandang ke depan tidak terpuruk dalam masa lalu. Masa lalu hanyalah masa lalu, tidak usah diungkit-ungkit, jadikan masa lalu itu kenangan dan sebuah pembelajaran.

Resensi Novel


Judul Buku : Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Umum
Cetakan : Tahun 2012
Halaman : 512 hal


           


Buku berlatar belakang Kalimantan ini mengisahkan tentang kisah cinta Borno dan Mei di Pontianak Kalimantan. Romantisme cinta yang sederana, tidak norak, tidak bertele-tele dan masih diambang wajar. Di buku ini, Tere Liye mengajak kita menyelami kehidupan di sekitar sungai Kapuas, bagaimana kekeluargaan, persahabatan, dan kehidupan masyarakat yang sederhana. Di buku ini juga megajarkan bagaimana kita tidak berputus asa saat kita terpuruk dan gagal, ditambah petua-petuah Pak Tua yang bijak dalam percintaan, tidak terkesan menggurui bagi para pembaca.
            Borno, seorang anak yatim yang telah ditinggal oleh ayahnya sejak berusia 12 tahun karena tersengat ubur-ubur saat melaut, berusaha mencari pekerjaan di sekitar kotanya. Segala pekerjaan telah ia coba tetapi selalu gonta-ganti karena tidak cocok. Pada akhirnya, Pak Tua menawarkan menjadi penarik sepit menggantikan dirinya karena dia sudah tua. Sepit adalah semacam perahu yang digunakan untuk menyebrang sungai Kapuas. Awalnya Borno menggunakan sepit Pak Tua, sedangkan Pak Tua istirahat di rumahnya. Tetapi, akhirnya Borno memiliki sepit sendiri, hadiah dari teman-temannya. Sepit itu pun di beri nama ‘Bornoe’. Lelaki dengan sebutan ‘bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian kapuas’ ini melalui hari-harinya dengan mengemudi sepit sampai akhirnya dia menemukan sebuah angpau merah yang dijatuhkan oleh wanita keturunan Cina yang menumpang sepitnya itu. Ketika ia akan mengembalikannya kepada wanita itu, ternyata wanita itu sedang membagi-bagikan angpau merah kepada anak-anak sebuah yayasan. Angpau yang sama, angpau merah. Borno pun hanya menganggap itu angpau biasa dan tidak jadi mengembalikannya ke wanita itu. Ia pun menyimpannya. Lambat laun, wanita itu menarik perhatiannya dan Borno pun jatuh cinta kepada wanita yang bernama Mei itu, dan ini pertama kali si Bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian kapua jatuh cinta pada seorang wanita.
Mei, gadis sendu menawan keturunan Cina, adalah seorang guru yang ditugaskan mengajar di sebuah yayasan di Pontianak. Ia cantik, kaya, pintar, ramah. Ia pandai bergaul dengan siapa saja dan ia gadis yang lugu. Borno pun selalu datang pagi untuk mngengantre di antrean ke 13. Hanya 15 menit pertemuan mereka tetapi memberikan kesan yang mendalam untuk Borno. 23.45 waktu yang diperlukan Borno menunggu datangnya hari esok dengan perasaan rindu yang tertahankan. Semakin hari, mereka semakin dekat dan pak tua pun semakin sakit-sakitan. Ternyata Mei tidak lama di Pontianak, ia hanya mengajar di  yayasan itu sementara dan ia harus pulang ke Surabaya. Dihari kepulangannya, mereka berjanji untuk bertemu, tetapi diwaktu yang sama, Pak Tua sakit dan dibawa ke rumah sakit sehingga Borno lupa akan janjinya. Ia pun mencoba mencari alamat rumah Mei yang di Pontianak. Ia mengunjungi yayasan tempat Mei mengajar dan akhirnya mendapat alamat rumah Mei. Dengan segera, Borno mengunjungi rumah Mei dan mendapati Mei sedang bersiap-siap pulang. Akhirnya Mei pun pulang dan Borno pun sedih.
            Hari-hari dilalui Borno tanpa Mei. Ia sering bercerita kepada Andi, sahabatnya, di bengkel milik ayahnya Andi. Ia juga sering ke rumah Pak Tua untuk mengantarkan makanan sehat dari ibunya untuk Pak Tua. Memang, semenjak Pak Tua masuk rumah sakit, ibunya Borno sering menyuruh Borno mengantarkan makanan ke rumahnya. Itu juga menjadi kesempatan bercerita kepada pak Tua dan pak Tua pun memberi nasehat yang bijak tentang cinta. Sampai pada suatu hari, Pak Tua harus menjalani pengobatan di Surabaya dan ia mengajak Borno untuk menemaninya ke Surabaya. Tidak disangka, di Surabaya tepatnya di rumah sakit tempat Pak Tua menjalani pengobatan, ketika sedang menunggu Pak Tua, ia bertemu dengan Mei. Mei pun mengajak Bono jalan-jalan mengelilingi kota Surabaya dan mengunjungi kerabat Pak Tua yang memiliki kisah cinta yang sangat romantis, si Fulan dan Fulani. Borno juga sempat mengunjungi rumah Mei, tetapi di rumah Mei, Borno mendapat sambutan yang tidak ramah dari ayahnya Mei. Ayahnya Mei tidak setuju dengan hubungan mereka. Borno pun pulang ke Pontianak dengan hati gelisah. Dalam kegelisahannya itu, Borno bertemu dengan bu Dokter yang sangat cantik dan baik hati. Tak disangka, mereka dulu pernah bertemu saat kecil ketika ayahnya Borno meninggal. Bu dokter yang bernama Sarah itu ingin membalas budi karena ayahnya Borno telah mendonorkan jantungnya untuk keluarga mereka. Keluarga Sarah pun membuat syukuran dan memberikan hadiah kepada keluarga Borno.
Sarah gadis cantik dan baik hati, mengingatkan Bornoe pada Mei  yang sama cantiknya dengan Sarah. Timbul rasa ketertarikan pada Sarah karena Sarah begitu perhatian kepada Borno. Hatinya pun sekarang sedang gelisah karena Mei, sehingga rasa ketertarikan itu semakin mendalam. Namun Borno tidak ingin mengubris perasaan itu. Ia tetap pada Mei seorang, cinta sejati hingga akhir hayat.
            Saat Borno ke rumah Andi, ayahnya Andi melihat potensi Borno dalam mesin, ayahnya Andi pun mengajak Borno menjadi montir di bengkelnya. Borno pun setuju, pagi menarik sepit, sore ke bengkel ayahnya Andi. Ayahnya Andi juga sedang berbisnis untuk mencari tempat bengkel yang baru dan stategis. Suatu hari, ada yang ingin menjual bengkel kepada ayahnya Andi dengan harga murah. Setelah dipikir-pikir, ayahnya Andi pun setuju walau harus menjual rumah dan menjual sepit Bornoe. Tapi ternyata, penipuan terjadi, dan selama beberapa minggu, ayahnya Andi terpuruk. Kesehariannya hanya duduk diam di bengkel baru itu, tetapi Andi dan Borno tidak. Disaat ayahnya Andi seperti itu, justru mereka tetap berusaha membangkitkan kembali bengkel ini agar menjadi bengkel yang besar. Dengan haru tawa canda dengan slogan yang dibuat Andi akhirnya bengkel ini sukses dan ayahnya Andi lambat laun mulai sembuh.
            Ternyata, Mei kembali ke Pontianak. Borno yang tahu kepulangan Mei ingin mengajaknya jalan-jalan mengelilingi kota Pontianak. Mereka naik kapal dan sorak-sorak dari para kawan penarik sepit membahana. Tetapi, tiba-tiba Mei tidak datang pada sepit urutan ke 13 itu tanpa alasan yang jelas, keesokan harinya pun sama. Borno pun merasa Mei menjauhinya, entah karena apa. Borno berusaha menemuinya tetapi yang terjadi malah tambah menjauh. Borno tidak mengerti mengapa Mei menjauhinya, ia cerita ke Pak Tua yang selalu memberi petuah petuah bijak. Kisah cinta mereka mngalir begitu saja seperti aliran sungai Kapuas itu. Sederhana sekali tetapi sangat menyentuh. Tidak norak dengan bahasa yang lebay. Dua sejoli yang sama sama mencintai tetapi dipisahkan oleh masa lalu. Borno tidak menyerah dan terus berusaha untuk dapat bertemu Mei. Pernah suatu hari, saat itu, borno baru pulang dan mendapati rumahnya ramai. Ternyata keluarganya Sarah datang, memberikan baju-baju yang bagus untuk keluarganya Borno untuk digunakan pada perkawinan adiknya Sarah. Pada saat perkawinan itu, ternyata Mei dan Sarah telah berteman lama. Borno meminta bantuan Pak Tua untuk mengalihkan perhatian ayahnya Mei agar ia dapat berbicara dengan Mei. Tapi sia-sia saja, Mei malah menyuruh Borno bersama Sarah saja dan melupakan dia.
            Borno terus mengejar cinta sejatinya, ketika ia ingin ke rumah Pak Tua, tiba-tiba ia bertemu Mei baru keluar dari rumah Pak Tua. Lantas Borno menemui Pak Tua untuk bertanya ada apa Mei ke rumah Pak Tua. Pak Tua pun memberi saran untuk mengejar cinta sejatinya itu. Sampai dapat, sampai menemukan jalan keluar dalam permasalahan ini.
            Tanpa disadari, ternyata yang membuat Mei jadi menjauh karena masa lalu itu. Ia terjebak dalam masa lalu yang kelam, dan itu menimbulkan dampak negative bagi kisah cinta mereka. Ternyata angpau merah yang dijatuhkan Mei, bukan sekedar angpau biasa yang Mei bagikan pada anak-anak di yayasan. Isinya mengungkapkan rahasia kenapa Mei menjauh darinya. Sayangnya angpau itu baru dibuka di akhir cerita ini. Tapi borno tidak peduli dengan masa lalu yang ternyata ada sangkut paunya dengan dirinya, ia tetap akan mencintai Mei.
Buku ini sangat bagus untuk remaja sekarang yang sedang dilanda kisah romantisme. Tidak hanya cinta dan gombal-gombal, tetapi ada pepatah pepatah yang bagus dan sangat memutar otak kita  untuk lebih baik lagi. Kelebihan buku ini, tidak hanya kisah cintanya yang menyentuh, tetapi kekeluargaannya, kebersamaannya, kerja keras dan perjuangan Borno. Kehidupan sederhana, tenang, damai. Membacanya membuat kita berimajinasi dengan bebas. Kekurangannya mungkin kurang tebal.
            Buku ini layak sekali dibaca oleh semua orang. Bahasanya tidak terlalu dewasa, tidak baku, tidak rumit, sederhana. Inilah yang saya suka dari Tere Liye. Bahasanya itu beda dari yang lain sehingga ketika kita membacanya tanpa tahu pengarangnya, pasti kita dapat menyimpulkan kalau ini yang menulis pasti Tere Liye. Di buku ini kita juga bisa belajar sejarah Kalimantan, tentang tempat-tempat yang unik, tentang bagaimana Pontianak dibentuk.
            Pesan moral yang dapat saya ambil dari buku ini adalah bagaimana kita harus terus berusaha dan bersungguh-sungguh dalam meraih cinta sejati kita, bagaimana kita dalam berusaha dan bekerja keras dalam mencapai kesuksesan di bidang pekerjaan. Saling membantu dan menolong dalam kesulitan, bagaimana kita bersama-sama membangun kota yang kecil menjadi kota yang besar dan maju. Bagaimana mengikhlaskan apa yang telah terjadi, memandang ke depan tidak terpuruk dalam masa lalu. Masa lalu hanyalah masa lalu, tidak usah diungkit-ungkit, jadikan masa lalu itu kenangan dan sebuah pembelajaran.